Lompat ke konten

KUBET – Istanbul dan Munich: Dua Kota, Satu Luka Nerazzurri

Istanbul dan Munich: Dua Kota, Satu Luka Nerazzurri


Istanbul dan Munich: Dua Kota, Satu Luka Nerazzurri

Lautaro Martinez dari Inter Milan berjalan kecewa usai final Champions League melawan PSG di Allianz Arena, Munich, Jerman, Sabtu, 31 Mei 2025 (c) AP Photo/Martin Meissner

Bola.net – Dua kali melangkah ke final dalam tiga musim terakhir seharusnya menjadi bukti bahwa Inter Milan telah kembali ke panggung besar Eropa. Namun, dua kali pula mimpi mereka hancur di ambang kejayaan. Istanbul dan Munich menjadi dua kota yang kini lekat dengan luka bagi para pendukung Nerazzurri.

Pada 2023, Inter dipaksa mengakui keunggulan Manchester City lewat gol tunggal Rodri. Dua tahun kemudian, luka itu kian menganga saat mereka dibantai Paris Saint-Germain (PSG) lima gol tanpa balas di Allianz Arena. Dua cerita berbeda, tapi rasa sakitnya serupa—Inter kembali jadi penonton di pesta orang lain.

Kekalahan di partai puncak Liga Champions membuat Inter sadar, mencapai final tak lantas membuat mereka setara dengan para juara. Ada jarak yang masih harus dijembatani, dan itu bukan hanya soal strategi atau statistik, melainkan mental dan ketangguhan jiwa.

Agar kamu tidak ketinggalan informasi terbaru seputar Liga Champions, kamu bisa join di Channel WA Bola.net dengan KLIK DI SINI.


1 dari 5 halaman

Final di Istanbul: Harapan yang Patah

Final Liga Champions 2023 adalah momen kembalinya Inter ke final setelah 13 tahun. Harapan membumbung tinggi, membayangkan trofi keempat akan kembali ke kota Milan. Simone Inzaghi membawa timnya melewati jalan berliku menuju Ataturk Olympic Stadium dengan kepala tegak.

Namun, semua itu lenyap dalam satu momen. Gol Rodri menjadi pembeda yang mengunci kemenangan Manchester City dan membuat Inter pulang tanpa apa-apa. Meskipun mereka menjuarai Supercoppa Italiana dan Coppa Italia musim itu, kekalahan di final Liga Champions tetap menyisakan kekecewaan mendalam.

Bagi City, kemenangan itu bermakna sejarah. Usai mengamankan Premier League dan FA Cup, mengalahkan Inter berarti treble pertama dalam sejarah klub. Bagi Inter, itu jadi ironi pertama dari dua yang menyusul.

2 dari 5 halaman

Final di Munich: Mimpi Buruk Itu Datang Lagi

Setelah disingkirkan Atletico Madrid pada babak 16 besar musim lalu, Inter bangkit dan melaju hingga ke partai puncak. Kali ini, lawannya adalah PSG yang haus gelar Eropa. Sayangnya, hasil akhir di Munich lebih menyakitkan dari yang pernah mereka alami di Istanbul.

PSG tampil dominan dan Inter nyaris tak berkutik. Lima gol bersarang ke gawang mereka, dicetak oleh Achraf Hakimi, Desire Doue (dua gol), Khvicha Kvaratskhelia, dan Senny Mayulu. Di atas lapangan Allianz Arena, Inter bukan hanya kalah—mereka dikalahkan dengan telak.

“Paris pantas menang di laga ini dan meraih trofi. Kami kecewa, tapi perjalanan menuju titik ini sangat luar biasa. Sebagai pelatih, saya bangga pada para pemain,” ujar Inzaghi, seperti dikutip UEFA.com. Namun, dia juga mengakui kenyataan pahit yang tak bisa dibantah, “Pertandingan ini tentu saja tidak cukup baik dari pihak kami.”

3 dari 5 halaman

Ironi Treble

Ada satu ironi yang menghantui Inter Milan dalam dua final ini: dua kali mereka menjadi saksi lahirnya treble lawan. Setelah Josep Guardiola membawa Manchester City meraih tiga gelar pada 2023, kini giliran Luis Enrique mengantar PSG meraih treble perdana mereka.

Kedua pelatih itu punya sejarah serupa, sama-sama pernah mencatat treble saat membesut Barcelona. Mereka mencetak sejarah baru di atas puing-puing harapan Inter. Bagi Inzaghi, ini adalah mimpi buruk yang datang dua kali, dengan cara yang berbeda, tapi rasa yang sama.

“Ini menyakitkan, seperti final di Istanbul. Paris selalu lebih cepat dalam merebut bola. Kami harusnya bisa bermain jauh lebih baik,” kata Inzaghi dengan nada getir. Dua final, dua luka. Dan dua pelajaran besar tentang betapa mahalnya harga kemenangan di puncak Eropa.

4 dari 5 halaman

Inter Belajar dari Kekalahan, Berjalan dengan Kepala Tegak

Meski pahit, Inzaghi menolak untuk tenggelam dalam keputusasaan. “Ini kekalahan yang berat karena terjadi di final. Namun, kami bisa bangkit dari kekalahan ini, seperti yang kami lakukan pada 2023 dan kemudian menjuarai liga musim berikutnya,” katanya penuh harap.

Dia menekankan bahwa perjuangan para pemain layak mendapat apresiasi, bahkan jika tak berujung trofi. “Saya berterima kasih kepada para pemain atas apa yang mereka lakukan musim ini. Kami memang tak meraih trofi, tapi saya bangga menjadi pelatih mereka,” ujarnya.

Inter telah memainkan 58 pertandingan musim ini. “Kami sudah memberikan segalanya untuk sampai ke titik ini. Kami kecewa, sedih. Namun, para pemain telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka,” tutup Inzaghi. Ini bukan akhir, hanya jeda dalam perjuangan.

5 dari 5 halaman

Inter Milan: Luka Itu Menyakitkan, tapi Juga Mendewasakan

Inter Milan mungkin gagal di dua final, tapi mereka tak pernah berhenti bermimpi. Luka itu menyakitkan, tapi juga mendewasakan. Mereka tahu, untuk menjadi juara, bukan hanya soal mencapai garis akhir, tapi juga bagaimana mereka tiba di sana.

Dua kali mereka berdiri di panggung terbesar, dua kali pula mereka jatuh. Namun, tak ada yang menyangkal bahwa mereka telah menjadi bagian dari cerita besar Liga Champions. Cerita itu belum berakhir.

Yang jelas, Inter belum habis. Mereka kalah, memang. Akan tetapi, dari dua musim penuh peluh dan luka, mereka justru menemukan keyakinan baru. Bahwa kelak, saat panggung final kembali menyapa, mereka akan datang bukan hanya sebagai finalis—melainkan sebagai juara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *